Menulis perihal Umar Khayyam tidak ubahnya menyusuri jalan bersegi
banyak. Tafsir tentang lelaki kelahiran Nishapur ini begitu beragam.
Berikut ini adalah catatan pendek, di tengah hiruk pikuk duniawi, menuju
perjalanan panjang menapaki jejak Khayyam yang lahir hampir 1.000 tahun
yang silam.
Di Barat, nama Umar Khayyam—orang hebat dari abad ke-5 H/ke-11
M—selalu lekat dengan Rubaiyyat semata. Sajak-sajaknya yang tertuang
dalam baris-baris kwatrin menemani para serdadu yang berangkat ke medan
perang. Berkat Edward FitzGerald (1859), Khayyam menembus dunia Eropa
Barat oleh karena pesona anggurnya, sebuah pemujaan atas kenikmatan ala
Epicurian—sebuah tafsir yang ditampik oleh Syed Hossein Nasr.
Tak ada pemikir Iran selain Khayyam, kata Nasr, yang dipandang dengan
cara-cara yang sangat berbeda. Di satu ujung spektrum terdapat klab
malam yang dinamai Khayyam, sebagai representasi watak hedonis agnostik
yang dicitrakan padanya. Di ujung lain, ia dipandang sebagai penyair
sufi mistis yang dipengaruhi tradisi platonik. Melihat hanya pada
syair-syair Khayyam untuk menilai pemikir ini, kata Nasr, sungguh
mereduksi pandangan personal Khayyam tentang Tuhan.
Jamil Ahmad, dalam Seratus Muslim Terkemuka, mengutip kwatrin terjemahan FitzGerald:
Ah, kekasihku, isilah sloki yang menjernihkan/
Hari ini dan penyesalan masa lalu serta ketakutan masa depan/
Hari esok! Wah, esok aku barangkali/
Diriku sendiri dengan tujuh ribu tahun kemarin
Hari ini dan penyesalan masa lalu serta ketakutan masa depan/
Hari esok! Wah, esok aku barangkali/
Diriku sendiri dengan tujuh ribu tahun kemarin
Ada kesalahpahaman tentang watak pikiran Khayyam, tulis Mehdi Aminrazavi dalam The Wine of Wisdom,
yang dibentuk oleh penafsiran bebas FitzGerald. Kemashuran karya
translasi sastrawan Inggris ini menjadikannya pintu paling popular bagi
Barat untuk mengenal Khayyam, walau karya Khayyam tentang Aljabar sudah
diterjemahkan di Eropa delapan tahun lebih awal. Sebagian orang,
lantaran itu, menganggapnya sebagai pemikir bebas, seorang “Voltaire
dari Timur”, yang menjadikannya hero di Eropa abad ke-19.
Jamil Ahmad juga menganggap Khayyam mengikuti garis filsafat
Epicurus. Nasr punya penglihatan yang berbeda, dan agaknya Nasr lebih
tepat dalam memahami Khayyam. Yang tampak bagaikan sikap kurang peduli
atau agnostisisme dalam syairnya, tutur Nasr, hanyalah semacam bentuk
pernyataan yang menggabungkan penyembuh instan atas kemunafikan agama
seorang gnostik dengan pemulihan hubungan dengan realitas. Seperti juga
Aenesidemus menggunakan cara skeptis yang sama untuk tujuan serupa.
Dalam waktu yang lama, sosok utuh Khayyam tersembunyikan oleh kilau
Rubaiyyat-nya. “Umar Khayyam adalah nama yang lebih akrab di Inggris dan
Amerika ketimbang di Persia (karena Rubaiyyat-nya),” tulis H.A.R. Gibb
dalam Legacy of Islam. Padahal, lebih dari seorang yang
memiliki minat besar terhadap sains dan puisi, Khayyam pantas dikenal
sebagai pemikir orisinal di ranah sains. Ia penafsir penting matematika
Yunani dan menyodorkan perbaikan besar atas postulat-postulat
Euclidian.”Dia matematikus terbesar Abad Pertengahan,” kata Minorsky.
Di balik syairnya yang mashur, Khayyam menjelajahi wilayah yang luas:
matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, sejarah, dan musik. Dua
karya awalnya dalam matematika: Mushkilat al-Hisab membahas aturan-aturan umum mengenai akar positif dari angka-angka, yang masih tersimpan di Jerman, dan Sharh-l Mushkil min Kitab al-Musiqi yang berbicara ihwal musik dari sudut pandang matematika.
Dalam Aljabar, karya terpokoknya, Khayyam meletakkan prinsip-prinsip
terkait dengan persamaan pangkat tiga. Dalam kitab ini, ia menulis
tentang koefisien binomial yang kemudian dikenal sebagai segitiga
Pascal. Tujuh tahun kemudian, Khayyam menulis Penjelasan tentang Kesukaran-kesukaran dalam Postulat-postulat Euclidus. Kritiknya terhadap geometri Euclides, yang menjadi rujukan selama 13 abad, membuka babak baru dalam telaah geometri.
Upaya Khayyam untuk mengatasi masalah ini membukakan jalan bagi
pengembangan geometri non-Euclidean. Ini perombakan besar, oleh sebab
ruang Euclidian datar dan absolut, sedangkan ruang non-Euclidian
lengkung dan relatif. Albert Einstein membutuhkan pendekatan
non-Euclidian untuk membuktikan bahwa cahaya bergerak bukan dalam garis
lurus, melainkan sesuai kelengkungan ruang-waktu. Boleh jadi, Frederich
Gauss menyadari keterbatasan ide-ide Euclidus sesudah membaca karya
Khayyam.
Barangkali lantaran keyakinannya pada intuisi, yang menurut Khayyam
merupakan petunjuk dari Tuhan sebagaimana keyakinan kaum Sufi, ia
melakukan apa yang belum dikerjakan oleh ilmuwan sebelum dan sezamannya.
Khayyam menyatukan dua dunia yang sebelumnya dipandang terpisah:
aljabar dan geometri. Baginya, masalah geometri tertentu dapat
dipecahkan dengan persamaan aljabar, dan sebaliknya persamaan aljabar
dapat diselesaikan dengan geometri. Sebelum Khayyam, orang belum
berpikir bahwa angka dapat digunakan untuk menyatakan suatu titik atau
garis. Setelah Khayyam, Rene Descartes menyerap gagasan itu dan
mengembangkan geometri analitik.
Kekuatan imajinasi, itulah yang melentingkan Khayyam hingga mampu
melampaui sekat-sekat yang membatasi pikiran orang-orang sezaman maupun
sebelum dirinya. Ia menyatukan puisi dan aljabar, astronomi, metafisika
dalam dirinya. Khayyam itu universal, kata Nasr. Dalam astronomi,
Khayyam menyumbangkan kalender Jalali yang dinilai oleh banyak ilmuwan
lebih tepat ketimbang kalender Gregorian yang dipakai dunia
internasional hingga kini.
Khayyam, pada 1079, menghitung satu tahun sebagai 365,24219858156
hari. Dari angka yang kita ketahui di masa sekarang, yaitu 365,242190,
selisihnya hanya terdapat pada desimal keenam—sepersekian detik.
Pengukuran kalendernya hanya memiliki 1 hari kesalahan untuk setiap
5.000 tahun, dan kalender Gregorian mempunyai 1 hari kesalahan untuk
setiap 3.330 tahun.
Sebagaimana ia kerap disalahmengerti, namanya tenggelam pula oleh
Copernicus, Kepler, Galileo walau ia telah lebih dulu membuktikan bahwa
semesta ini tidak berputar mengelilingi Bumi sebagaimana diyakini
orang-orang sebelumnya. Khayyam memang memiliki selera bersegi banyak,
mencari kebenaran lewat pengetahuan dan menampik godaan kuasa meski
untuk itu ia harus berpindah-pindah.
Bagi Khayyam, cara memperoleh pengetahuan merupakan soal yang utama.
Dan orang yang begitu pintar dalam bidang seni dan sains pada zamannya
ini memandang ‘cara pensucian’ sebagai cara terbaik dalam mencari
pengetahuan. Khayyam meletakkan kaum Sufi pada tempat tertinggi dalam
hierarki pengetahuan. “Mereka tidak mencari pengetahuan secara
intelektual atau diskursif, melainkan dengan membersihkan batin dari
ketidakmurnian alam dan tubuh jasmaniah,” tulisnya dalam Perihal Pengetahuan tentang Prinsip-prinsip Eksistensi.
Memahami Khayyam dengan membaca Rubaiyyat semata akan mengantarkan
pada tafsir yang keliru tentang orang yang dikabarkan mati setelah
bersujud di tengah malam dan berseru: “Oh, Yang Maha Kuasa, sesungguhnya
aku telah berusaha menginsyafi Engkau sejauh kemampuanku. Aku memohon
pengampunan-Mu.” Dia dimakamkan di satu belukar teduh yang indah. ***
0 Response to "Khayyam, diantara Sajak dan Matematika"
Post a Comment